Nama : Tiara Nazwita Amin
NPM : 10508224
Kelas : 3PA06
Judul : Kepadatan dan Kesesakan Lingkungan
Dunia ini memang luas sekali ukurannya. Di dalamnya hidup manusia yang diciptakan untuk bersosialisasi. Tetapi, pertumbuhan manusia di dunia ini semakin lama semakin meningkat. Istilahnya banyak yang mati banyak pula yang lahir. Sayangnya, apabila angka kelahiran manusia tidak dibatasi maka jumlah manusia di dunia ini akan semakin meningkat dan terjadilah kepadatan dan kesesakan di dunia ini. Berikut ini akan saya jelaskan tentang pengertian dari kepadatan dan kesesakan menurut ilmu Psikologi Lingkungan.
A. KEPADATAN
Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Sedangkan Menurut Holahan (1982), mendefinisikan kepadatan (density) sebagai sejumlah individu pada setiap ruang atau wilayah. Suatu keadaan dikatakan padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba merinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yg terjadi. Hasilnya menunjukkan ternyata banyak hal-hal negatif akibat dari kepadatan.
- Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok usia tertentu.
- Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa atau menjadi sangat menurun bila kepadataan tinggi sekali. Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
- Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan. Juga hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil yang kompleks.
Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain. Sedangkan Jain (1978) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur – unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur – unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu:
- Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu:
- kepadatan spasial (spatial density): terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.
- kepadatan sosial (social density): terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
- Altman (1975) membagi kepadatan menjadi:
- kepadatan dalam (inside density): sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal. Seperti kepadatan di dalam rumah, kamar.
- kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1978) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu :
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dala rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
Akibat – Akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimtra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang disarankan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan Mc Farling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubaan suasana hati (Holahan 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Giffor, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keingian individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemapuan individu untuk mengerjakan tugas – tugas pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).
CONTOH KEPADATAN:
Misalnya saja kepadatan yang ada di lingkungan rumah, khususnya lingkungan Jakarta. Dapat dikatakan daerah Jakarta ini sudah tidak mencukupi lagi untuk ditinggali, karena lautan manusia ada di Jakarta. Mereka yang datang dari luar kota Jakarta, banyak yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Belum lagi perkembangan manusia semakin banyak. Apabila tidak diatasi dengan bijak, kota Jakarta akan semakin padat dan tidak sesuai ukurannya dengan tanah yang kita pijak. Ditambah lagi dengan ketidaktertiban warga Jakarta. Lalu bagaimana caranya mengatasi kepadatan yang semakin hari semakin bertambah? Menurut pendapat saya, bukan hanya pemerintah saja yang mengatasi ini semua, tetapi kita sebagai warga juga ikut berpartisipasi. Karena dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan warga, hasil yang didapatkan akan lebih maksimal. Cara dalam mengatasi kepadatan ini adalah dengan mengatur tempat, menjaga ketertiban dan membatasi masuknya masyarakat yang datang dari luar kota serta memberlakukan KB agar pertambahan jumlah penduduk tidak melonjak drastis.
KESESAKAN
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan dua kesesakan, yaitu:
1. kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor – faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit.
2. kesesakan sosial (social crowding) yaitu sesak mula – mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian – kejadian interpersonal.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal – hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
- Faktor Personal
Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin, dan usia.
- Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan – kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya. Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinya yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik dari pada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).
- Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gilford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sudstrom (dalam Gilford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stress akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawan-kawan (1987) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. (Adaptasi dan habituasi akan banyak dibahas pada bagian lain buku ini). Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
- Faktor Sosial
Menurut Gilford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
b. Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari suatu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan seorang yang terisolasi di lain pihak (Gilford, 1987).
c. Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gilford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d. Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gilford, 1987).
- Faktor Fisik
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah, (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tinggal, kompleks perumahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah itu rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gilford, 1987) dan Dibyo Hartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan krena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :
a. Besarnya skala lingkungan
Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.
b. Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat diantara sesama penghuni.
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bisa diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaitu plafon yang tinggi sehingga menimbulkanh kesan yang luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih baik tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendela dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.
Altman (1975) dan Bell dkk. (1978) menambahkan faktor situasional seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan (lingkungan primer-sekunder), tipe suasana (suasana kerja rekreasi), dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).
Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber – sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai pengalaman yang kadang – kadang menyenangkan dan kadang – kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.
Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang timbul oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
Worchel dan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama – asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa – mahasiswa yang tinggal di asrama dari pada yang tinggal sendiri.
Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkaurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982).
Dari beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki – laki saja karena dalam situasi padat laki – laki lebih bersikap kompetitif. Kebanyakan masalah keapdatan muncul karena laki – laki lebih banyak orang dalam suatu ruangan daripada masalah – masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.
Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunnya perilaku sosial, ketidaknyamanan dan pengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-interaction hypothesis), efektif negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum & Valine dalam Watson dkk., 1984). Sementara menurut hipotesis kehilangan kontrol (the loss of control hypothesis), akibat negatif dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan kontrol selama kejadian (Baron & Rodin, 1978; Schmidt & Keating, 1979).
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigman (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menajadi
1. pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain
2. keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih
3. kontrol pribadi yang kurang
4. stimulasi yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
Teori-Teori Kesesakan
- Teori Beban Stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan. Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan sosial. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
- Teori Ekologi
Adalah membahas kesesakan dari sudut proses sosial. Menurut Micklin, sifat-sifat umum model pada ekologi manusia yaitu:
1. Teori ekologi perilaku : Fokus pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan.
2. Unit analisisnya : Kelompok sosial, bukan individu dan organisasi social memegang peranan penting
3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial
Sedangkan menurut Wicker, Teori Manning kesesakan adalah tidak dapat dipisahkan dari faktor setting dimana hal itu terjadi.
- Teori Kendala Perilaku
Kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Kesesakan akan terjadi bila sistem regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif lebih banyak kontak sosial yang tidak diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang butuh energi fisik maupun psikis, guna mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.
Contoh Kesesakan
Dalam satu ruangan kelas yang seharusnya berisi 30 orang anak, tetapi diisi lebih dari kapasitas tersebut atau lebih dari 30 anak. Artinya kapasitas kelas tidak sesuai dengan anak yang ada. Kesesakan yang terjadi di ruangann kelas tersebut dapat berpengaruh terhadap hasil prestasi siswa. Karena dengan ramainya kelas, bisa menganggu konsetrasi belajar anak. Dan guru yang mengajar pun akan merasa kesusahan. Seharusnya pihak sekolah dapat mengatasi masalah ini. Pihak sekolah harus mengatur lagi isi kelas itu, kalau bisa buat kelas yang baru lagi agar tidak terjadi kesesakan. Kesesakan ini juga bisa menganggu psikis anak yang ada di ruangan itu.
Sumber:
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.
http://journal.tarumanagara.ac.id/index.php/psi1/article/view/174. Akses tanggal 18 Maret 2011.
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.
0 komentar:
Posting Komentar